Film Garuda di Dadaku ini sudah kulihat 2 minggu yang lalu. Sayang banget, karena kerusakan teknis pada harddisk, aku kehilangan tulisan tentang film ini. Tapi ternyata ada hikmahnya, aku bisa membuat perbandingan dengan film King karya Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen. Animo penonton pun masih cukup besar, banyak sekali adik-adik beserta orang tuanya melihat movie ini.
Beberapa persamaan dari kedua film ini ada di :
- pengambilan ide tentang olahraga. Garuda di Dadaku dengan sepakbolanya dan King dengan bulutangkisnya.
- Masing-masing film didukung oleh industri-industri maju di Indonesia seperti lifeboy dan djarum.
- Menceritakan persahabatan tiga anak (2 anak laki + 1 anak perempuan). Pada film Garuda di Dadaku tokoh utamanya adalah Bayu dan sahabatnya adalah Heri dan Zahra sedangkan film King , tokoh utamanya adalah Guntur, sahabatnya adalah Raden dan Michelle,
- Para tokoh utama mendapatkan kendala dalam mewujudkan cita-citanya di bidang olahraga. Bayu terkendala dengan minimnya lapangan bola di Jakarta sehingga ia harus menggunakan lahan kuburan , sedangkan Guntur terkendala dengan raket bulutangkis yang seadanya.
- Sahabat dari tokoh utama mendukung yaitu Heri dan Raden terpaksa harus berbohong untuk mendukung kemajuan sang tokoh utama mengejar citanya. Dikedua film ini pun, kecurangan ini mereka akui dan meminta maaf.
- Adanya kendala dari pihak orang terdekat tokoh utama. Di film Garuda di Dadaku terletak pada sang kakek, Pak Usman, sedangkan di King terletak pada ayahnya Guntur, pak Tejo.
- Sama-sama memberikan saran untuk pemerintah dalam membangun fasilitas olahraga yang memadai. Disini jelas terlihat fasilitas olahraga yang cukup memadai untuk menghasilkan juara-juara olahraga. Bila fasilitas ada, maka bibit-bibit unggul segera muncul.
Banyak pesan moral yang bisa disampaikan ke generasi muda dalam movies ini. Sepanjang gw melihat movies ini, mostly ABG atau anak-anak dibawah 12 tahun bersama orang tua mereka atau saudaranya menonton movies ini.
Di film Garuda di Dadaku menggunakan bahasa anak Jakarta “lu-gue” dimana sahabat Bayu, Heri, adalah anak orang gedongan. Segala keperluan Bayu untuk masuk SSI(Soccer School Indonesia) , Heri lah yang mengsupport, sedangkan King menggunakan latar belakang pedesaan (mirip-mirip film Denias, Senandung di atas Awan), dimana sahabat Guntur, Raden, bela-belain ngamen untuk mendaftarkan Guntur ke club Djarum Kudus.
Menurut gw, di movies ini, sarat akan kritik pada para orang tua atau siapapun yang memiliki anak. Tokoh pak Usman, kakeknya Bayu, melontarkan bahwa menjadi pemain bola tidaklah elit dan tidak bermutu. Bila cedera, karirnya akan mati, seperti ayah Bayu yang juga pemain bola kaki.
Terkadang orang-tua "merasa tahu" apa yang terbaik buat anaknya, tanpa mengkomunikasikan terlebih dahulu pada sang Anak. Di film King pun, sebenarnya ayah Guntur, pak Tejo (diperankan oleh Mamiek ‘Srimulat’) mendukung anaknya, sayangnya cara komunikasi yang tidak tepat ke Guntur, sehingga terjadi salah persepsi. Sejelek-jeleknya prestasi anak, Guntur tetap lah anaknya pak Tejo.
Di movies ini juga, ditekankan bagaimana anak merupakan media perekam yang baik. Mereka akan mengingat nasihat-nasihat dari orang tua. Sehingga sebagai orang-tua berhati-hatilah berucap pada anak.
Tidak ada ceritanya anak cengeng jadi juara. Tetapi yang terpenting dari menjadi juara adalah juara melawan diri sendiri.
“Raihlah mimpimu dan citamu, jangan terlalu lelah untuk menjadi yang terbaik”, itu lah pesan Liem Swi King diakhir movie ini.
Seusai melihat film Garuda di Dadaku, sepanjang koridor menuju ke lahan parker mobil, tak henti-hentinya kudengar anak-anak kecil bersenandung “Garuda di Dadaku. Garuda Kebanggaanku. Ku yakin hari ini pasti menang…”.
Majulah perfilman Indonesia dengan tema sederhana, mendidik dan mencerdaskan seperti ini. Jangan movie unsure klenik atau percintaan abege g karuan saja yang disodorkan.
Sis,
ReplyDeleteudah lama g mampir...
tak banyak tulisan....
lagi sibuk atau lagi buntu nulis?