Tiap-tiap anak punya rizkinya sendiri.. Jadi, jangan2 banyak orang tua yg menopang hidup pd anaknya karena rizki anaknya yg diterima melalui dirinya.. Hmm.. (Hanya perantara-red)
Kalimat itu aku copas dari status seorang kawan di jejaring sosial. Ku jadi teringat ama Rissa , sebut saja namanya begitu, seorang anak yang terlahir dengan paras cantik dan kelengkapan jasmani yang sempurnah. Ketidaksempurnaan (menurutnya) hanyalah pada kemampuan ekonomi keluarganya.
Gadis yang beranjak dewasa ini mestinya saat ini duduk dibangku kuliah, ia memiliki kulit kecoklatan dan parasnya cantik layaknya gadis sunda. Secara jasmani dia sangat cukup merawat dirinya. Tadinya tak terpikir olehku bahwa dia memiliki keluarga ekonomi lemah.
22 Desember biasanya diperingati sebagai hari ibu, tapi tidak bagi Rissa. Dia memiliki kenangan yang tak mengenakkan tentang ibunya. Sejak kecil Rissa hidup di jalan, mendampingi sang Ibu sebagai pengemis. Wajahnya yang imut tentunya membuat banyak orang mengulurkan selembar kertas hijau untuk sang Ibu.
Ketika dia masih berumur 5 tahunan, Rissa pun dipaksa menjadi pengamen bersama 1 adik lelakinya, Deni. Sebagai anak paling tua, Rissa tidak mengerti mengapa semua pekerjaan ini dia harus lakukan. Baginya, dengan bekerja dia akan makan.., itulah ajaran sang Ibu. Beranjak 7 tahun, Rissa mulai menyadari bahwa dirinya di eksploitasi oleh sang Ibu untuk membantu mencari nafkah buat 5 kepala. Suatu sore, dia menghampiri kedua orang tuanya, dan menyatakan niatnya untuk bersekolah. Permintaan yang wajar dari seorang anak pada orang tuanya.
“Buat apa sekolah yang tinggi? Toh nanti kalau kamu sudah besar, tetap di rumah membantu suamimu. Lebih baik kamu bantu kami mencari uang untuk kehidupan kamu lebih baik”, sahut sang Ayah.
Rissa kecil hanya terdiam, dia menangis tak mendapatkan yang diinginkannya. Setiap melewati SD dekat rumahnya dia selalu berhenti sejenak dan menyempatkan diri memberi hormat pada Sang Merah Putih. Ntah untuk apa, tetapi dia hanya mengikuti anak-anak sekolah yang dia rekam setiap hari senin. Dia pikir dengan melakukan seperti itu, dia akan seperti mereka yang berpakaian merah putih.
Rupanya kehadiran Rissa menggugah hati seorang ibu guru yang mengajar disana. Singkat cerita, Rissa akhirnya di perbolehkan mengenyam pendidikan hingga lulus SD.
Tapi perjuangan Rissa tidak mudah. Dia harus bermain petak umpet dengan orang tuanya karena Rissa pun harus menjalankan perannya sebagai pengamen. Kadang Rissa terpaksa mencuri agar dia masih bisa belajar dengan sang guru.
Pendidikannya pun akhirnya kandas dibangku SD. Rissa tak mampu lagi membagi waktu antara sekolah – mencuri - mengamen. Seiring beranjak dewasa, Rissa pun mulai memperluas pergaulannya. Dalam benaknya sekarang, Rissa memiliki banyak cara mendapatkan uang, termasuk cara yang sekarang dia tempuh, berada dipangkuan dari 1 pria ke pria lain, dari 1 suami ke suami lain. Secara materi kehidupan Rissa mulai tercukupi. Dia memboyong keluarga ke rumah kontrakan, bahkan Rissa mampu menyekolahkan 2 adiknya. Rissa tak lagi kekurangan harta, tetapi dia tetap kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. Rissa menjadi sosok yang haus akan perhatian tanpa lagi memperdulikan orang yang dipilihnya telah berkeluarga.
“I don’t care ‘em, coz they don’t care me”, begitu jawabnya datar sambil menghisap satu batang djarum Black Menthol kesukaannya .
“Apa kamu masih punya cita Ris?”, tanyaku.
“Masih, gw pengen punya panti asuhan sekaligus sekolah untuk mereka yang tidak mampu membayar. Saat ini tabunganku dari pekerjaan yang gw lakoni baru sampai 300 juta, dan tanah 300 meter. Moga 5 tahun lagi gw sudah pensiun”.
“Tidak berniat punya anak Ris? Kan kamu sudah dinikahi”, tanyaku lagi.
“Punya anak? Anak yatim masih banyak terlantar oleh negeri ini. Mereka yang kunikahi hanya membutuhkan tubuhku dan aku butuh uang mereka. Tak mungkin kulahirkan anak dari ayah seperti mereka”.
“Menurut kamu, apa Sang Pencipta meridhai uang yang kamu belanjakan untuk anak yatim dari pekerjaanmu sekarang ini Ris?”
Rissa tertegun lama, “Hingga sekarang aku belum melakukan ibadah shalat. Bukannya aku tidak mau, tapi aku malu bertemu denganNya dalam keadaan seperti ini. Gw percaya Dia menciptakan aku sesempurna ini dan mengalami semuanya untuk aku belajar. Mungkin cara belajar yang gw tempuh salah, tapi gw g berhenti untuk belajar. Bila Dia ingin menghukumku, itu hakNya. Gw bersedia menjadi bonekaNya. Hidup dibawah bayangan ‘apa kata orang’ sudah gw lepaskan. Saat ini gw hidup dengan ‘apa yang bisa gw lakukan selama nafas masih berhembus’ dan terus keluar dari kemelut ini.
“Bukankah apa yang kamu lakukan ini menyakiti hati wanita lain?”
“Kamu salah, gw menikahinya bukan untuk menyakiti hati istrinya. Dulu gw mencuri di toko-toko hanya untuk belajar membaca, sekarang gw mencuri 5% dari kekayaan mereka untuk membayar atas service yang mereka terima. It’s just like a business, right? Untung gw kenakan PPH”, kata Rissa dengan tertawa lebar.
“Niatku lurus, prosesku mungkin yang berliku. Gw hanya berharap, waktuku masih cukup untuk meluruskan prosesku. Kacamata yang ku gunakan sekarang tidak melihat manusia, karena mereka ternyata sama denganku. Berjasad dan ber-roh. Dan apa yang ia telah lakukan padaku, kau kumaafkan Ibu”, kata Rissa sambil beranjak dari kursinya.
Kuantar ia hingga menaiki mobil jazz hitamnya dibalut jok kulit berwarna hitam dengan asesoris didalamnya yang serba hitam. Sejak dulu Rissa memang bergabung dalam black car community.
“Sampai ketemu lagi mba, ingatkan aku bila 5 tahun pantiku belum berdiri ya and thanks ya sudah membantu mengurus sekolah kedua adikku”.
*****
“Wanita melukis kekuatan lewat masalahnya, tersenyum disaat tertekan, tertawa disaat hati sedang menangis, mensyukuri disaat terhina, mempesona karena mengampuni. Wanita mengasihi tanpa pamrih dan bertambah doa dalam doa dan pengharapan. Kasih ibu tidak mengenal batas, waktu, tenaga, penderitaan dan tetap akan tulis hingga akhir hayat”, itulah penggalan pesan singkat yang kuterima dari Ibuku.
Sekarang lagi dimana?
ReplyDeletedah hijrah ya ke kota besar?
jangan stress disana ya..
klo perlu tempat bertapa, u know how to find me sis
Rissa merupakan contoh tepat kalimat "KEEP STRUGLE"...salute!
ReplyDeleteSaya pikir,hampir semua anak Indonesia mau sekolah pada awalnya.Sayangnya, banyak sekolah yang tidak tahu kalau pelanggannya ini tidak punya cukup uang untuk ditukar dengan Ilmu yang seharusnya sih GRATIS!
~Rusdi : Iyo de, uni sedang kumpulkan pundi-pundi , shg o'day bisa kyk rissa, punya obsesi memiliki lembaga edukasi utk menampung mereka yang tdk mampu.
ReplyDeleteSementara jalan dengan yang ada, memberi beasiswa hehehe...
ini lah realita yang harus sama2 kita terima..
ReplyDeletepower is money
money is power
entah kapan akan barakhir jika kita tak berusaha mengakhiri