Namaku Muhammad Tegar.
Sudah sejak setahun ini, sejak lulus, kuabdikan ilmu tarbiyahku untuk melayani ummat. Aku tahu banyak diantara ummat Islam yang tak mengamalkan al Quran.
Jangankan untuk mengamalkan, membacanyapun mereka tak mampu, apalagi memahami.
Jadi bagaimana caranya mereka menjalani keislaman mereka?
Ya sekedarnya.
Toh, asal sudah syahadat, beres. Itu pikir mereka.
Yah, seperti umat kristiani. asal percaya yesus juru selamat, sudah beres.
Tak heran, ketika diantara mereka ada yang oke-oke saja berzina, mencuri, merampok, bahkan menjarah
Ada juga yang menganiaya, bahkan dengan lancang mereka bilang itu demi islam.
Yah.. namanya juga tidak tahu. tentu mereka tidak tahu bahwa dengan perkataan itu
mereka telah menjatuhkan islam, dan bukan mengangkat islam
Aku ingin membagikan ilmu sekedarnya. Bukan apa-apa.
Aku hanya ingin ummat islam mengenal apa itu islam. Dan islam itu ada didalam Quran.
di Quran ada tuntunan hidup yang bisa mereka ikuti
Bukan untuk mengekang mereka. tapi justru untuk menjadikan mereka manusia.
bukan untuk merendahkan, tapi justru untuk meninggikan derajat mereka
Alhamdulillah..
Allah memberi jalan untuk mengibarkan dakwahku.
Dari sabang sampai merauke aku dipanggil berkali-kali
Kriing
"Assalamualaykum"
"Waalaykummussalam mas.. gimana sudah sampai Balikpapan?"
"Eh.. sudah Lia. Gimana Farhan sudah tidur?"
"Itulah... dek farhan dari kemarin panas mas"
"Loh.. terus? Gimana, sudah dibawa ke dokter?"
"Sudah.. katanya demam berdarah mas"
"Innalillahi..."
"Mas.. gimana ini mas... Lia dah gak ada uang"
"Sudah bawa saja dulu ke Rumah sakit"
"Lia.. lia gak berani minta uang sama orang tua lagi. Sudah keseringan. Kasihan, Bapak kan cuma pensiunan"
"Sudah.. wa-llahu khairu-r-raaziqiin.. sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi rejeki. Insyaallah pas mas pulang sudah ada rejeki. Sudah jangan dipikirkan lagi Lia, yang penting Farhan sehat dulu"
"Iya ya mas.. semoga saja begitu. Bismillah mas, saya malam ini juga langsung ke rumah sakit"
"Ya, minta tolong bu Omen saja ya Lia"
"Iya mas, assalamualaykum"
"Mas doakan dari sini, Waalaykumussalam"
Kututup HP. Ya Allah.. ya Allah, ya Allah.. dengan namaMu..selamatkanlah anakku semata wayang...
Hari itu acara Ramadhan di salah satu kantor ternama di Balikpapan demikian meriah. Kulihat artis-artis bernyanyi setelah penampilanku. Wah.. masyaallah, kabarnya mereka 50 juta sekali tampil. Yah, bolehkah aku berharap sedikit untuk diriku sendiri?
"Mas, ini sekedar terimakasih dari kami" Panitia mengangsurkan amplop tertutup
"Jazakallah.."
Di kamar, sebelum berangkat, kubuka amplop itu.
Kutatap dua lembar uang lima puluh ribuan.
keringat kecil, keringat gede, keringat dingin, keringat panas, semua keluar. Bagaimanakah aku pulang?
Kuperiksa lagi amplop itu. Kosong.
Bagaimana ini?
Bergegas kudatangi panitia sebelum keberangkatan
"mas, maaf kalau transport pulang disediakan tidak"
"Wah maaf mas, transport pulang hanya untuk artis. kan sudah dikasih transport kedatangan" Tatapan panitia itu mendadak dingin menusuk.
ketika aku berbalik menuju kamar,
samar-samar aku dengar mereka mencibir dibelakangku, ustadz kok mata duitan.. katanya
Masyaallah.. biarlah dibilang mata duitan.. dua keping seratusan
Ustadz juga butuh pesawat untuk pulang ke Bandung, karena ustadz bukan burung
Ulama juga butuh setidaknya perahu untuk menyebrang pulau, karena ulama bukan ikan
Ustadz,ulama, semuanya manusia, bukan cuma penyanyi rock atau metal
Dan yang paling penting, ustadz biasanya gak kaya..
atau mungkin memang tidak boleh kaya.
Bukan, bukan aturan dari hadist, atau quran.
belum pernah aku menemukan aturan larangan kaya.
itu aturan sebagian manusia yang merasa kalo bayar ustadz, itu membeli ayat
Kalau bayar Seleb?
Kalau bayar pesepakbola?
Membayar liat aurat? membayar ngadu orang?
Jangan tanya aku dong.. tanya yang tadi ngomongin.
Yang jelas, sekarang aku mau pulang, anakku sakit! dan pulang butuh uang!
Dengan badan dibasahi keringat, aku berwudhu, lalu shalat.
Kuhadapkan diriku semurni-murninya pada Allah. Semoga saja Dia melapangkan jalan
Setelah menghaturkan hajatku pada Dia yang Maha mengabulkan, aku berdiri, dan mengangkat koper.
Laa haula walaa quwwata illa billah..
Sebelum pulang, aku berpamitan pada semuanya.
Kusalami artis-artis dan para panitia semuanya.
"Ustadz pulangnya sama siapa?" Seorang artis bertanya
"Yah, bila Allah mengizinkan saya pasti bisa pulang"
"Ustadz, ini saya ingin bersedekah, tolong disampaikan pada yang berhak"
"Ya, insyaallah saya akan sampaikan pada yang berhak"
Dengan itu, dia menyelipkan amplop di tanganku
Di mobil menuju travel agent, diam-diam kuintip amplop itu.
Alhamdulillah, 2 juta rupiah. Insyaallah cukup untuk pulang.
Jangan jauh-jauh, disini juga ada yang berhak.
Seorang ustadz yang butuh pulang.
Muhammad Tegar,
musafir (dalam perjalanan) fi sabilillah (berjuang di jalan Allah), miskin, yatim lagi.
Jadi kupakai saja itu uang sedekah. Toh hanya itu satu-satunya cara biar aku bisa pulang.
Tapi memakainya seratus persen aku nggak tega. Biar nanti kuniatkan hutang ke panti asuhan. sekarang aku pinjam untuk ongkos.
ya Allah, boleh ya? boleeh.. insyaallah jawabannya gitu
Di pesawat aku bersebelahan dengan seorang ibu
Yang dengan bersemangat beliau menyetujui dakwahku.
kamipun ngobrol, dan dengan berapi-api beliau menyerukan kebaikan islam
masyaallah.. hebatnya ibu itu.
Terkadang gelang emas yang berkilauan di kiri-kanan gemerincing beradu cincin
Sesekali beliau mengusap keringatnya di kulit yang mulus dirawat bodyshop
Sementara beliau sibuk mengkritisi mereka yang menjual ayat demi segenggam uang Diriku jadi panas dingin. Apa sebaiknya kuhentikan saja ya dakwahku
Apakah aku salah berharap menerima uang amplopan habis berdakwah atau mengajar Quran?
Masyaallaah, aku juga butuh makan..anak dan istriku juga butuh makan, butuh baju
Aduh, jadi keingetan, kami sudah dua bulan menunggak kos-kost an.
Yah, namanya juga ustadz, yang ngasih ya sekedarnya. Ustadz bukan seleb
Ustadz gak boleh menentukan tarif. Yang boleh itu Seleb, atau pengamen juga boleh!
Tapi, ibu kost ya tidak peduli.
"Mau ustadz kek, mo ulama kek, mo nabi kek! Tetep kagak ada keringanan! Bayar uang kost tepat pada waktunya! itu ada di Quran tuh! Utang, Janji.. ada tuh!"
Waktu itu begitu cecarnya padaku. Yah.. aku cuma bisa tersenyum. bagaimana lagi?
Memang uangnya belum ada. Alhamdulillah Allah masih memberi kesabaran, memberi jalan, meski tujuh keliling pusing aku dibuatnya.
Dan sekarang.. farhan..
Setengah sadar aku turun dari pesawat. Kudatangi ban berjalan tempat pengambilan barang. Di mataku masih terbayang Farhan. Kuambil kopor hitamku yang terlihat mendekat. Lalu setengah sadar aku pulang.
Dirumah, kubuka kopor itu.
Masyaallah.. mengapa isinya beda?
Kubolak-balik, isinya semua sabun mandi. Tidak ada tanda pengenal. Ah ada-ada aja.
Biarlah, siapa yang rugi kehilangan sabun mandi?
Yah, lumayan, sabun mandi habis. Kupakai saja satu buat mandi, habis ini mau ke RS.
Sok-gosok-gosok
PRull.. sabunnya hancur. Masyaallah! Sebungkus bubuk putih!
Sesaat kutatap bungkus itu keheranan.
Tiba-tiba kepalaku bagai tersambar petir.
Masyaallah.. jangan-jangan........
Masih berbusa sabun, kuhentikan mandiku, tergesa kupakai baju, lalu kudatangi warnet sebelah yang terkadang kujaga, sekedar mendapatkan uang tambahan.
Masyaallah....
bubuk putih itu berharga 200 ribu satu gram! dan disakuku, ada sekitar satu ons! 20 juta!
Bersicepat aku kembali ke kost-an, kutusuk satu-satu, tiga puluh sabun itu.
Ya Allah.. ada 5 yang berisi bubuk itu!
Panas dingin badanku, kepalaku berputar tak tentu
Segera saja kusimpan sabun-sabun itu di tempat yang aman.
"Kriing"
"Ya, Assalamualaykum Lia? gimana Farhan?"
"Mas, alhamdulillah sudah baikan, tapi mas, ini obatnya gimana harus ditebus pagi ini, Mas sudah di Bandung?"
"Sudah dek"
"Gimana mas.. ada rejeki? Ini Farhan sudah di kelas tiga, tapi yah, namanya juga dirawat mas.."
Sejenak aku tertegun. ada rejeki, seratus ribu, tergadai di jalan untuk ongkos, biar ada ke panti asuhan. SUdahlah, bilang saja mengerti.
"Ya.. Mas mengerti Lia"
"Cepetan kesini ya mas, ini kasihan obatnya harus segera diberikan."
"Iya. tunggu sebentar. Di RS mana?"
"RS anuanuanu ruang kemboja lantai dua"
"OK, wassalam" Tuut tuut..
Setengah berlari, aku pergi ke sebelah, ke Bu Dadang. Tapi beliau menolak meminjami uang, karena utang sebelumnya belum dibayar. Berlari ke Bu Ujang, beliau memberikan pinjaman 200 ribu. Ya alhamdulillah.
Segera aku pergi ke RS, menebus obat. Sejenak hatiku terasa damai, memandang anakku yang tertidur lelap, meski pucat. Tangannya dibebat, terhubung dengan infus.
"Alhamdulillah nggak rewel mas"
"Ya syukurlah"
"Mas.. "
"Ya?"
"Sudahlah,sebaiknya ngajar Qurannya jangan diteruskan. Saya capek hidup seperti ini"
Tiba-tiba tangis istriku meledak.
"Apa memang nasib seorang penyampai kebenaran harus seperti ini? Dihinakan hutang yang menumpuk dan kemiskinan, Mas? Digerogoti penyakit dan dipandang rendah tetangga! Kita ini berilmu Mas! Bukankah Allah meninggikan derajat orang berilmu beberapa tingkat dibandingkan yang lain?" Setengah menjerit dia berkata. Kurangkul istriku. Tak bisa aku menjawabnya
"Mas, mana janji Allah, bahwa Ia menjamin rejeki orang-orang yang mengajarkan Quran?"Jeritnya lagi
"Sabarlah Lia.. Allah enggan bertindak, kecuali melalui sunnahnya.. tak mungkin Allah memberikan hujan uang dari langit" Kataku terisak.
"Maas.. bagaimana kita membayar uang rumahsakit! bagaimana kita membayar uang kos? Dahulu memang masyarakat menghargai Ulama, guru dan dokter. Tanpa dimintapun, kehidupan ustadz, ulama, guru sudah ditopang dan dicukupi secara gotong royong! Tentu kurang ajar untuk minta tambahan!"
"Sekarang? Mana ada? Orang lebih menghargai mereka yang bermain bola,bernyanyi, menari, mereka yang tidak bisa memberikan kebaikan lebih daripada guru, apalagi Ustadz!"
"Sudah.. sudah"
"Sudah-sudah bagaimana Mas? Lusa kita sudah harus bayar pengobatan! 10 Juta! darimana itu? Kita nggak bisa ikutan program jaskin lagi. Kita belum punya kartu keluarga Mas!"
__________________________
Hari itu aku bertemu seseorang, menitipkan bungkusan mirip kado. Isinya sabun mandi, ditukar dengan seamplop gendut uang. Hari itu juga, kutebus uang pengobatan Farhan
Semua diatas ini hanya fiksi belaka, meski ada beberapa fakta nyata
0 comments:
Post a Comment
dear sahabat ....
thanks to respond my article in "It's my World". Hopefully, your feedback can make the contents of this site more meaningful. Sincerely, - nhirany -