Diskusi ini terjadi beberapa minggu yang lalu, ketika aku bertemu dengan sahabat dikota Jakarta.
Sore itu, dikala menunggu kemacetan di salah satu jalur tersibuk di Jakarta, kami mampir sebentar di salah satu mall yang tidak jauh dari lokasi kantornya. Aku memesan mie goreng spesial dan teh tawar hangat (my fave drinking) rasa mawar, dan Tery (sebut saja begitu namanya) memilih menu sandwitch tuna plus mix-vegetable ditambah cola.
Sambil menunggu pesanan makanan, kami mulai berbincang-bincang banyak hal, mulai dari kehidupan sebelum kerja hingga setelah kerja.
“Klo gw jadi loe Ra, pasti gw milih kerja diluar. Segala kans sudah terbuka didepan mata. Ya forget dulu lah idealisme, rasa cinta tanah air. Hari gini… hidup itu berjuang sendiri man….”, kata Tery yang selalu memanggilku Ra.
“Gitu ya Ry? Ya perspektif kita tidak sama dalam memandang kasus itu ri, bayangkan bila semua orang berpandangan seperti lu, bisa ilang orang-orang di negara ini pindah ke negara lain. Yang tinggal hanyalah mereka yang tidak mampu bersaing dengan mereka”.
“Ya g gitu kali Ra, kan ntar pulang lagi membangun bangsa . Ngapain bertahan bila ditempat ini tidak ada lagi yang bisa dilakukan, iya g?”
“Tul Ry, gw sepakat ama pernyataan lu. Ngapain bertahan..... Tapi sejauh ini,gw masih melihat sesuatu yang bisa gw lakukan. At the least, karya gw masih diperlukan, kecuali emang sudah g ada yg bisa dilakukan. Trus loe kenapa milih jadi madu? Apa yang pertama sudah akur ama loe?”.
“Oh, itu... Gw sih tadinya g pernah mimpi Ra, mo merit ama misua orang. Tapi gimana, ini jalan yang gw pilih. Yang penting gw hepi, misua gw hepi, dan keluarga gw juga yang mengsupport. Klo bini pertamanya sih, tetap aja g rela. Mana ada sih wanita mo diduain “.
“I see... r u really happy?”, tanyaku dengan mata yang menatap tajam ke Tery. Rasanya ada jawaban yang lebih nyata bila melihat dari mata ber-eyeshadow hijau bling itu.
“Apa sih kebahagiaan menurut loe Ra?”, tanyanya balik kepadaku.
“Lah… ditanya malah balik tanya. Gw pikir loe mungkin dah lama g ngerasain bahagia ampe loe tanya ke gw”.
“Gw malah ngeliat loe yang banyak menyiakan waktu loe Ra. Edukatif , mapan tapi kok masih sendiri “, rupanya Tery melihat kesendirianku hingga saat ini sebagai keputusan yang salah.
Hidup ini memang sulit, mungkin itu alasan Sang Pencipta memberi kita tidak hanya perasaan tapi juga akal. Bahkan tidak jarang seseorang harus hidup dalam memenuhi “apa kata orang nantinya….”. Begitu juga diriku, terkadang terjebak dalam tuntunan “apa kata orang nantinya..”. Untuk lepas dari itu semua, tidak lah mudah. Perlu banyak pengetahuan dan pengalaman. Tetapi ada satu yang harus diingat, WAKTU. Dia tidak pernah kembali. Kita tidak bisa mengembalikan waktu saat usia masih belasan tahun, 20-an, 30-an, 40-an, dst. Ia akan berjalan begitu saja tanpa memperdulikan apakah kita berhasil atau gagal.
Berry, sahabatku yang lain pernah berkata,
“Ra ketawa loe hari ini sangat berbeda dengan ketawa yang gw lihat 2 tahun lalu saat ketemu di Malang”.
“Maksudmu?”
“Ingat g, waktu loe mampir ke malang kita sempat makan dikaki gunung Bromo . Gw cerita tentang tingkah laku anak gw berumur 2 tahun dan Loe tertawa dengan lepasnya, seolah beban loe g ada. Ingat g? Tapi sekarang, kita juga makan, tetap menceritakan kelakuan anak gw yang sama, dan loe tertawa dengan pikiran tertekan…”
“Ah, masa sih Ber? Bisa aja loe analisanya. Gw happy kok”.
“U can say like that to me, but ur heart cant be cheated”.
Mungkin diskusi gw ama Tery atau Berry sering dialami oleh kalian. Hidup seolah-olah ingin terlihat bahagia, tough, cheer-up, everything is running well didepan orang lain. Tetapi dalamnya hati, siapa yang tau.
Gw sedang belajar untuk hidup “Apa kata Penciptaku nanti….”, dan ternyata tidak mudah atau mungkin aku belum ketemu caranya yang mudah dan aplikabel?
Aku tidak bisa hidup selamanya sesuai apa kata ortuku, apa kata abang/adikku, apa kata guruku, apa kata bosku, apa kata kekasihku, apa kata suami/istriku, apa kata anakku, apa kata temanku ….
Sebagai muslim, tuntunannya cuman Al-Qur’an dan hadist Rasulullah. Masya Allah, ilmu dan amalannya banyak sekali, manfaatnya luar biasa tetapi godaannyapun tak terhitung. (Untuk umat lain, tentunya mereka punya keyakinan masing-masing).
Aku mau hidup apa kata hatiKu, apa kata keyakinanKu…. Dan bila kata hatiKu seiring dengan kata mereka, ya Alhamdulillah. Bila tidak, mungkin kita hanya belum satu pandangan saja, tetapi bukan karena aku tidak menghormati mereka.
Aku tidak ingin menjadi seperti dewa atau manusia setengah dewa. Aku tidak perlu menjadi sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milikNya. Aku hanya ingin menjadi manusia.
Ya… hanya manusia.
Sorry ya Tery, bila hingga saat ini ku masih sendiri. Secepatnya kuakan berdua…
secepatnya akan berdua...
ReplyDeletejangan lupa undang-undang yach...
:)
hehe..suatu saat, gw juga tertegun ketika laki gw bilang ke gw, kenapa lu ga pernah ketawa kayak dulu lagi? gw bingung, bukannya dia ga suka ketawa gw yang kelewat keras itu?
ReplyDeletedia bilang, iya, tapi gw suka ekspresi lu ketika lu ketawa seperti itu. i want those laughter back...
life...
@etikush : pasti ntar dikabarin. Kirimin aja alamatnya ya.. atau via imel aja?
ReplyDelete@ enci : Wah, gw belum pernah liat loe ketawa. Tapi mungkin bukan kerasnya ketawa loe, tapi ekspresi loe yg bahagia itu loh.. cie..cie..cie..